Kutunggu perasaan kebas itu kembali, atau kepedihan itu. Karena kepedihan itu pasti datang. Aku sudah melanggar aturanku sendiri. Alih-alih menghindar dari kenangan, aku malah maju dan menyapaya. Aku sudah mendengar suaranya, begitu jelas, di kepalaku. Ada harga yang harus kubayar, aku yakin itu. Apalagi kalau aku tidak bisa lagi mendatangkan kabut untuk menutupi diriku. Aku merasa terlalu sadar, dan itu membuatku takut.
Tapi kelegaaan masih merupakan emosi terkuat dalam diriku--kelegaan yang berasal dari lubuk hatiku yang terdalam.
Meski berjuang keras untuk tidak memikirkan dia, aku tidak berjuang untuk melupakan. Aku khawatir--di larut malam saat kelelahan karena kurang tidur mematahkan pertahananku--semua itu beragsur-angsur lenyap. Bahwa pikiranku berlubang-lubang seperti saringan, dan bahwa suatu saat nanti aku tak lagi bisa mengingat warna matanya dengan tepat, sentuhan kulitnya dingin, serta tekstur suaranya. Aku tidak bisa memikirkannya, tapi aku harus mengingatnya. Karena tinggal satu hal yang perlu kuyakini agar aku bisa hidup--aku harus tahu dia ada. Itu saja. Yang lain-lain masih bisa bisa kutahan. Pokoknya asal dia ada.
Terlarang untuk diingat, takut untuk dilupakan; sunggguh sulit menjalaninya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar